Napoleon Bonaparte sang "The Emperor of French"
“Saya meramalkan bahwa tidak lama lagi akan dapat dipersatukan
umat manusia yang berakal dan berpendidikan tinggi untuk menjunjung satu
kesatuan kekuasaan yang berdasarkan prinsip–prinsip ajaran Islam, karena hanya
al- Qur’anlah satu-satunya sumber kebenaran yang mampu memimpin manusia kepada
kebahagiaan.”
Sewajarnya ungkapan optimisme ini muncul dari
para tokoh pergerakan Islam. Tapi yang satu ini ternyata bukan. Statement lugas
ini diungkap bukan oleh para aktivis. Bukan pula para ulama, kyai dan cendekiawan.
Mungkin kita bertanya-tanya, gerangan siapakah yang begitu berani melontarkan
statement bermuatan sara seperti itu? Atau mungkin kita lebih tidak percaya
lagi karena yang mengucapkan kata-kata tersebut adalah Napoleon Bonaparte!
“Agama-agama
itu selalu didasarkan pada hal-hal yang ajaib, seperti halnya Trinitas yang
sulit dipahami. Yesus memanggil dirinya sebagai anak Tuhan, padahal ia
keturunan Daud. Saya lebih meyakini agama yang dibawa oleh Muhammad. Islam
terhindar jauh dari kelucuan-kelucuan ritual seperti yang terdapat di dalam
agama kita (Kristen); Bangsa Turki juga menyebut kita sebagai orang-orang
penyembah berhala dan dewa.”
“Dengan penuh kepastian saya telah mengatakan kepada Anda semua
pada kesempatan yang berbeda, dan saya harus memperjelas lagi kepada Anda di
setiap ceramah, bahwa saya adalah seorang Muslim, dan saya memuliakan nabi
Muhammad serta mencintai orang-orang Islam.”
Tokoh istimewa ini begitu popular dalam
sejarah sehingga namanya tercantum dalam urutan ke-34 dari ‘Seratus Tokoh Yang
Paling Berpengaruh Di Dunia’ (Buku tulisan Micheal H. Hart yang meletakkan
Rasulullah saw menduduki tempat teratas dalam urutan itu).
Napoleon Bonaparte, namanya tercatat di semua
buku sejarah dunia. Setelah ratusan tahun lamanya Perancis dipimpin oleh
raja-raja, Napoleon Bonaparte merupakan pemimipin Perancis pertama yang
bergelar Kaisar (the emperor of French), ia memerintah pada tahun 1804-1814 dan 1815. Pada masa
jayanya, Napoleon Bonaparte mungkin salah satu pemimpi paling besar sepanjang
sejarah manusia. Melalui kharismanya yang disertai kerja keras dan ambisi
gilanya, ia bertekad mewujudkan mimpinya menguasai seluruh Eropa. Mimpinya
hampir saja terwujud, karena seluruh daratan Eropa nyaris dikuasai bahkan Asia
Barat, termasuk Mesir dan Palestina. Napoleon memang cinta pada
kekuasaan, yang ia ibaratkan, seperti seorang musisi mencintai biolanya.
Modal intelejensi yang tinggi dia buktikan dengan kemahirannya
mengatur strategi perang yang jitu. Dia juga memiliki pengetahuan politik yang
mumpuni, hingga menjadi Kaisar tanpa begitu banyak pertumpahan darah di dalam
negeri. Dan yang paling penting, kharismanya hingga sekarang masih menyedot
perhatian rakyat Perancis.
Napoleon lahir dari keluarga petani anggur di Ajaccio (Aiacciu) atau disebut Ajax dalam bahasa
Latin di Pulau Corsica yang terletak di bagian tenggara Perancis pada 15
Agustus 1769. Pulau Corsica berada di bawah jajahan Perancis yang merupakan
pulau keempat terbesar setelah Pulau Sicily, Sardinia dan Cyprus di Laut
Mediterranean.
Kopral Kecil (“Le petit caporal”) – demikian
julukannya karena bertubuh pendek dibanding rata-rata orang Eropa– mengawali
karir militer dengan menjadi perwira artileri. Ia kemudian berhasil memadamkan
pemberontakan terhadap Konvensi Nasional di Paris pada tahun 1795. Dalam
penaklukan Italia dari 1796 hingga 1797, Napoleon mengalahkan pasukan Austria
yang saat itu menguasai sebagian Italia. Akan tetapi, upaya menaklukkan Mesir
kandas setelah armadanya dilumpuhkan oleh armada Inggris di bawah Laksamana
Nelson pada 1798. Walau begitu, di mata rakyat Prancis, Napoleon adalah
pahlawan dan diharapkan mengembalikan kejayaan negaranya yang memudar akibat
ketamakan Raja Louis XIV yang mempunyai semboyan: “L`Etat Cest Moi” atau
“Negara adalah Saya”.
Setelah dukungan rakyat dan prajurit berada
di genggaman tangan, Napoleon pun menggulingkan pemerintah Prancis pada 1799.
Napoleon menjadi Konsul Pertama dan mengangkat dirinya sebagai kaisar.
Sedangkan jasa yang terbesar bagi negaranya adalah kodifikasi hukum yang
dikenal sebagai Code Napoleon–yang hingga kini masih menjadi dasar hukum Prancis.
Peperangan demi peperangan dimenangkan
Napoleon dengan gemilang pada rentang 1800 hingga 1808. Dengan enteng pula
Napoleon menentukan batas-batas negara yang tentunya menguntungkan pihak
Prancis. Kegemilangan Napoleon memang tak terlepas dari sejumlah strategi jitu
yang diterapkan. Menurut buku bertajuk Napoleon
Expansionist, taktik perang Napoleon bertumpukan ajaran perang klasik gubahan
Sun Tzu. Satu di antara taktik jitu Napoleon adalah membiarkan ratusan
prajuritnya di garis terdepan mati di ujung meriam pasukan musuh. Sedangkan
ribuan tentara Napoleon lainnya berlindung di tubuh pasukan yang mati tadi.
Sukses Napoleon di medan perang jelas mengangkat Prancis menjadi
kekuatan utama di Eropa sekalipun penyerbuannya ke Rusia pada 1812 mengalami
kegagalan. Namun, dua tahun kemudian, arus balik menghantam Napoleon. Ia
beserta pasukannya mulai menderita kekalahan demi kekalahan. Napoleon akhirnya
ditangkap dan diasingkan ke Pulau Elba, bagian barat Samudra Pasifik.
Akan tetapi, Napoleon dengan bantuan sejumlah
pendukung setianya berhasil melarikan diri. Berita lolosnya Sang Kaisar, membuat ribuan prajurit Napoleon yang setia
kembali menyiapkan senjata. Mereka pun menyambut gembira kedatangan Napoleon di
Prancis. Tak lama kemudian, Napoleon kembali menabuh genderang perang dan maju
ke medan laga melawan pasukan koalisi pimpinan Inggris dan Austria.
Di medan laga, pasukan Napoleon hampir
memenangkan pertempuran. Sayang, tentara Napoleon kekurangan perbekalan
makanan. Padahal, serdadu koalisi pimpinan Duke of Wellington, bangsawan
Inggris, sudah putus asa menghadapi kegigihan tentara Napoleon. Dan, Napoleon
kembali kalah!
Sebagai
hukuman, Napoleon dihilangkan hak menetapnya di Perancis. Dia dibuang ke Pulau
Saint Helena yang terletak di bagian timur Afrika. Ribuan prajurit maupun
rakyat Prancis pun bercucuran air mata ketika menyaksikan Napoleon dikapalkan
untuk dibuang ke pulau tersebut.
Kaisar Perancis yang sempat menikmati masa-masa kejayaan dengan
menguasai hampir seluruh daratan Eropa itu dikucilkan di pulau terpencil
di Samudera Atlantik bagian selatan. Enam tahun kemudian, Bonaparte
menghembuskan napas terakhirnya di usia 52 tahun.
Otopsi yang dilakukan saat itu menunjukkan bahwa kanker usus
menjadi penyebab kematiannya. Namun, sejumlah racun arsen yang ditemukan pada
tahun 1961 di rambutnya memicu kontroversi bahwa ia diracun. Alasan ini masuk
akal sebab pengaruhnya di Eropa masih sangat besar sehingga dikhawatirkan akan
memberontak jika ia lepas kembali seperti yang dilakukan sebelumnya saat
dikucilkan pertama kali di Pulau Elba. Tapi, semua itu baru sebatas spekulasi.
Untuk menguak teka-teki tersebut, sejumlah peneliti dari Universitas
Texas Barat Daya mempelajari catatan medis dokter yang memeriksanya saat itu,
mengumpulkan laporan saksi mata dan sejarah kesehatan keluarganya, serta
membandingkannya dengan teknik otopsi modern. Hasilnya menunjukkan, pendarahan
usus mungkin faktor utama penyebab kematian secara mendadak itu.
“Meski ia lepas dari pulau tersebut, kondisi tubuhnya tidak akan
mendukung. Kalaupun diobati sekarang, ia hanya tahan setahun,” kata peneliti
utamanya Robert Genta yang melaporkan hasil penelitiannya dalam Nature
Clinical Practice Gastroenterology and Hepatology edisi Januari. Ia mengatakan, dengan teknik pembedahan dan
kemoterapi sekalipun, pasien dengan kanker usus seperti dia akan sulit diobati.
Deskripsi asli otoposinya menggambarkan betapa buruknya penyakit kanker yang
dideritanya, dengan dua luka total sepanjang 10 centimeter, dari sebuah luka di
lambung serta sebuah luka di antara dinding lambung dan hati.
Dengan membandingkan variasi 50 foto tukak lambung dan 50 foto
kanker usus, para peneliti yakin bahwa yang diderita Bonaparte termasuk kanker.
Dari ukurannya saja, ujar Genta, bisa diperkirakan bahwa itu kanker. Tapi,
kanker tersebut berawal dari tukak lambung yang terinfeksi. Makanan yang
diasinkan tanpa buah segar dan sayuran, yang menjadi menu tentara pada umumnya,
turut memperparah risiko kanker ususnya. Bisa dibayangkan bagaimana penderitaan
Bonaparte saat kanker yang menyerang tubuhnya mulai menjalar ke organ lainnya
sampai ajal menjemput.
Namun pertanyaan besarnya adalah benarkah
Jenderal Besar Panglima Tentara Perancis yang digambarkan sebagai seorang yang
kontroversial ini benar-benar memeluk Islam? Jika benar, apakah karena ada
unsur muslihat dibalik semua itu agar ambisinya dapat terwujud?
Keislaman Napoleon diangkat dan dipaparkan
oleh David M. Pidcock dalam sebuah bukunya yang mengutip kembali berita sebuah
surat kabar resmi Perancis, Le
Moniteur, yang menyebut tentang keislaman Napoleon
pada 2 Juli 1798. Terjadi hampir 23 tahun sebelum meninggal dunianya pada 1821.
Kapankah
tokoh ini memeluk Islam, kemudian apakah berganti nama menjadi Aly (Ali)
Napoleon Bonaparte?
Peristiwa ini dipercaya terjadi ketika
Napoleon berada di Mesir. Napoleon tertarik kepada Islam ketika diajak
menghadiri acara Maulid Nabi saw yang dihadiri oleh ribuan umat Islam. Majelis
itu menyadarkan Napoleon kepada kata-kata Voltaire yang mempercayai bahwa
manusia memerlukan agama dalam hidup mereka. Manusia tidak boleh hidup tanpa
agama atau tanpa mempercayai tuhan. Sejarah tak pernah mencatat apa
sebenarnya agama formal Napoleon Bonaparte. Ia memang dilahirkan di tengah
sebuah bangsa Kristen. Namun ia tak pernah terlihat pergi ke gereja atau
melakukan ritual-ritual kristen.
Pengalaman di Mesir itu
dikatakan telah memberikan sebuah perjalanan rohani bagi Napoleon. Tetapi apakah yang membuat
‘Sang Penakluk Eropa’ ini dapat menerima Islam?
Napoleon berkata, “Rasulullah saw berhasil menuntun kehidupan kaum
Arab yang jahil kepada jalan yang benar. Mengajar kepada mereka mengenai
keesaan Allah. Allah yang satu. Tuhan yang tidak mempunyai bapa, tidak
mempunyai anak dan tidak mempunyai pendamping.”
“Sedangkan
menyembah belbagai jenis tuhan merupakan satu budaya yang sangat kabur tetapi
tidak lebih satu aspek pemujaan kepada berhala yang merupakan hanyalah
patung-patung yang kosong.”
Napoleon juga sangat mengagumi kitab suci
al-Quran setelah dia membandingkan isi kandungannya dengan Injil.
“Saya menemukan
kebenaran-kebenaran yang unggul di dalam al-Quran yang selama ini dikelirukan
oleh kitab-kitab terdahulu yang manusia itu campur tangan di dalamnya melalui
kata-kata mereka sendiri, bukannya kata-kata Tuhan.”
Malah yang lebih menarik adalah ucapan
Napoleon ketika pertama kali menginjakkan kakinya di Palestina pada tahun 1799
sebelum bertempur dengan pasukan Utsmaniah. Sambil mengenakan serban di
kepalanya, Napoleon mengaku tentang keislamannya dan berkata:
“Dengan Nama Allah
Yang Maha Pemurah Lagi Maha Pengasih. Saya Bonaparte, Panglima perang tentara
Perancis. Kepada semua pemimpin di sini, para mufti dan penduduk Gaza, Ramla
dan Jaffa, semoga Allah melindungi kita semua.”
Keislaman Napoleon dapat ditelusuri lebih
lanjut dalam sebuah buku, ‘Napoleon
and Islam’ atau Bonapart et Islam oleh C. Cherfils. (ISBN: 967-61-0898-7). Dalam buku itu, Napoleon
dikutip sebagai pernah mengatakan:
“Dalam waktu dekat ini, jika berpeluang, saya ingin menyatukan semua umat manusia
melalui budaya yang baik (Islam) dan pemerintahan yang mengayomi rakyatnya
melalui prinsip yang tertulis dalam al-Quran al Karim.”
Perihal perundang-undangan, Napoleon sendiri
mengakui akan keunggulan perundang-undangan Islam atau syariah. Saat menduduki
Mesir ketertarikan Napoleon dengan kodifikasi hukum Islam itu ditunjukkan dengan
membawa idea itu ke Perancis. Dia membawa empat ahli hukum Islam dari Mesir
untuk menyusun Code Penal dan Code Sivil Perancis, yang dikenal dengan istilah
Code Napoleon itu. Code Napoleon itu kemudian mempengaruhi negeri Belanda, dan
dari situlah lahir KUH Pidana dan KUH Perdata yang kita kenal sekarang ini
sebagai kitab hukum warisan Belanda di negeri kita.
Dalam KUH Perdata — yang diadopsi dari Code
Napoleon — ada transformasi dari syari’at Islam, yakni ketentuan di dalam
Al-Qur’an yang menegaskan bahwa
“Sesungguhnya
Allah melarang kalian memakan harta saudara kalian dengan cara yang bathil,
tetapi menghalalkan jual beli yang dilakukan ridho dengan ridho”.
Inilah
yang dinamakan prinsip “kausa yang halal” sebagai salah satu prinsip dalam
hukum perikatan. Para pihak dalam membuat perjanjian harus dilandasi oleh
iktikad baik dan prinsip perjanjian adalah terbuka, tergantung dari keinginan
dan kesepakatan para pihak, namun asas-asas hukum termasuk rasa kepatutan harus
tetap menjadi pertimbangan.
Transformasi lain dari syariat Islam ke dalam hukum civil Napoleon
ialah tentang keharusan adanya saksi dalam perjanjian. Juga ada transformasi
tentang konsep “washil” yang di Eropa diadopsi dan disebut dengan istilah
“wesel”, yakni seperangkat aturan tentang penitipan sesuatu untuk diantarkan
kepada orang lain, seperti jasa pos dan kurier di zaman sekarang. Transformasi yang
paling banyak dari syariat Islam ke dalam hukum Eropa dan hukum internasional
publik, ialah dalam Hukum Perang dan Damai.
Dalam Hukum Romawi, perang adalah bumi hangus dan semua halal
belaka. Hukum Islamlah yang mengajari orang Eropa bahwa perang harus tunduk
kepada hukum, tidak boleh asal bunuh dan asal bumi hangus.Yang boleh dibunuh
hanyalah tentara dan orang sipil yang aktif membantu tentara. Orang sipil,
wanita dan anak-anak harus dilindungi. Rumah ibadat agama apapun serta
fasilitas umum tidak boleh dihancurkan. Juga ada aturan-aturan tentang status
tawanan perang, pertukaran tawanan, dan pembebasan tawanan. Perang tidak boleh
dilakukan diam-diam. Perang harus diumumkan secara terbuka. Negara yang
melakukan agresi harus dihukum secara kolektif oleh negara-negara lain.
Prinsip seperti ini ada di dalam al-Quran dan mempengaruhi — atau
dengan kata lain — mengalami transformasi dalam penyusunan berbagai konvensi
hukum perang modern.
Banyak orang tidak mengetahui transformasi berbagai “keluarga
hukum” ke dalam sistem hukum di suatu negara, kecuali mereka yang mempelajari
sejarah hukum. Sikap apriori terhadap sesuatu — dalam arti mudah menolak dan
mudah menerima sesuatu — tanpa studi yang mendalam, bukanlah sikap akademis
dalam mencari kebenaran ilmiah. Demikian menurut Prof. DR. Yusril Ihza
Mahendra.
Lalu Napoleon pun menggunakan undang-undang
itu saat memerintah Perancis dan dipercaya hingga sekarang pengaruh dan elemen
undang-undang syariah masih terus digunakan di negara itu. Contoh yang paling
kentara adalah ketika terjadi kecelakaan tragis di jalan raya yang merenggut
nyawa Puteri Diana dan teman lelakinya, Dodi Al Fayed pada 1997.
Pemerintah Prancis merujuk KUH yang lama saat
menjatuhkan hukuman kepada juru foto yang sempat mengabadikan detik-detik terjadinya
kecelakaan itu. Mereka dijerat hukuman dengan tuduhan tidak membantu korban dan
lebih mengutamakan untuk mengambil gambar pada kecelakaan tersebut. Bentuk
undang-undang dan hukuman ini nyata-nyata diambil dari kitab fikih
Al-Muwaththo’ Imam Malik.
Walau bagaimanapun pro kontra seputar berbagai pendapat mengenai status agama dan pengislaman Napoleon harus
diungkap. Menurut Zuraini Nordin dosen di Universitas Islam Antarabangsa
Malaysia (UIAM), mengatakan, “Sebenarnya kaisar Perancis itu seorang yang berpegang
kepada ajaran Deisme yaitu tidak percaya kepada ajaran-ajaran Kristen seperti Original Sins (Dosa Warisan), mukjizat dan
sebagainya. Dia mengkritik ajaran Kristen itu sebagai hanya mementingkan aspek
spiritual individu dibanding dengan Islam yang dia sendiri pahami sebagai agama
yang rasional dan mementingkan ilmu dan sains.”
Maka tidak berlebihan kalau kemudian Napoleon
sangat menggandrungi agama islam,
menghormati orang Islam dan mengagumi kepribadian Nabi Muhammad itu sendiri.
Hal ini dikarenakan dia percaya Rasulullah bukan saja seorang pemimpin agung
tetapi juga seorang panglima yang ulung, dia (Nabi) sangat sesuai dengan
semangat dan jiwanya sebagai seorang kaisar dan panglima perang Perancis yang
punya cita-cita tinggi,” kata Zuraini menjelaskan.
Masih kata Zuraini, Napoleon adalah seorang
yang gemar mengkaji tentang Islam, al-Quran dan hadits Nabi dan dia membina
hubungan baik dengan para mufti dan ulama-ulama Al-Azhar selama ekspedisinya di
Mesir. Napoleon mengakui Islam sebagai satu sistem kepercayaan yang unggul dan
dia banyak mengadaptasikan undang-undang syariah ke dalam kode sipilnya yang
dikenal sebagai Code Napoleon.
Dengan kode atau undang-undang itu Napoleon
merasa telah dapat memberi manfaat kepada pemerintahannya dan rakyat Perancis.
Sebagai seorang raja, tidak disangsikan Napoleon juga seorang yang memiliki jiwa kerakyatan dan
selama pemerintahannya banyak reformasi dilakukan untuk kepentingan rakyat.
Namun ternyata masih ada juga pihak-pihak yang menyangsikan dan
memperdebatkan perihal keislaman Napoleon itu. Walaupun sebenarnya sudah banyak
literatur dan sumber-sumber informasi yang memaparkan keislaman kaisar Perancis
tersebut, namun diyakini bahwa tokoh ini hanya menaruh minat terhadap Islam
saja.
Malah Napoleon menggunakannya demi
kepentingan diri dalam meluaskan kekuasaannya. Dia pernah mengatakan di hadapan
para ulama dan rakyat Mesir:
“Bahwa
saya datang untuk mengembalikan hak-hak Anda, yang telah dirampas oleh para
penjajah; bahwa saya memuja Tuhan lebih daripada kaum Mamluk dan juga bahwa
saya menghormati Nabi Muhammad dan kitab suci Al-Qurâan. Beritahu para penjajah
bahwa semua manusia itu sama di hadapan Tuhan; bahwa kecerdasan, kebajikan dan
sainlah yang membedakan mereka semua.”
Dengan pernyataan itu, Napoleon ingin
meyakinkan kaum Muslimin Mesir, bahwa dirinya bukan tentara salib. Dia berusaha
merangkul para ulama dalam lingkup kekuasaan pemerintah, tetapi para ulama yang
tidak biasa dengan kekuasaan sekuler, tidak terkesan dan memilih bertahan pada
habitatnya sebagai pemuka-pemuka tradisional yang religius dalam budaya
agraris. Walhasil hingga saat akhir, upaya Napoleon untuk mendapatkan
legitimasi kekuasaannya dengan dukungan kaum ulama tidak berhasil. Pada tahun
1801 Inggris berhasil mengusir Perancis dari bumi Mesir, dan menyerahkan
kembali Mesir kepada Kekhalifahan Utsmaniyah.
Tuduhan bahwa Napoleon melakukannya hanya
sebagai komoditas politik demi kepentingan diri dalam meluaskan kekuasaannya
ini bukanlah isu ‘aneh’ karena keislaman seseorang di Eropa sering kali tidak
disukai oleh berbagai pihak yang memiliki modus kepentingan yang berbeda-beda.
Perdebatan di seputar ini sebenarnya membuka lembaran bagi terjadinya kajian yang
lebih mendalam untuk menentukan status agama Napoleon.
Bagi Barat sendiri, mungkin terlalu sulit
buat mereka menerima dan mengakui hakikat ada tokoh sehebat Napoleon yang
menerima kebenaran Islam. Pengaruhnya sedikit banyak akan merubah tatanan
sejarah Eropa. Kalaupun itu tidak terjadi, paling tidak akan memberikan ‘efek kejut’
atas berbagai sikap negatif yang selama ini menjadi stereotype Barat terhadap
Islam.
Komentar
Posting Komentar