Oliver Twist: The Parish Boy's Progress
Oliver Twist
langsung menjadi yatim piatu tak lama setelah kelahirannya. Tinggal di panti
tidak mudah, apalagi dengan pengawas semacam Mrs. Corney dan Mr.
Bumble. Setelah peristiwa Oliver meminta tambahan makanan, ia diambil petugas
pemakaman untuk dipekerjakan. Di sana, usai terlibat perkelahian, Oliver
memutuskan untuk melarikan diri ke London.
Ilustrasi Oliver meminta tambahan makanan |
Mr. Brownlow, pria
korban pencopetan, iba melihat kondisi Oliver, membawanya ke rumahnya. Betapa
bahagianya Oliver ketika bangun ia dirawat dengan kasih sayang oleh Mrs.
Bedwin. Senang hatinya berada di rumah Mr. Brownlow yang baik hati. Tapi tentu
saja, kehidupan Oliver tidak berakhir bahagia semudah itu.
Saat ia hendak
membuktikan bahwa ia bisa dipercaya, ia ditangkap kembali oleh kawanan Fagin,
dan oleh Bill Sikes dijadikan kaki tangan untuk merampok. Saat
operasi perampokan sebuah rumah itulah Oliver tertembak. Namun, justru
tertembaknya dirinya itulah yang membawa Oliver menemukan rahasia masa lalunya.
*
Tadinya saya hendak
membaca The Old Curiosity Shop (seperti yang pernah saya ceritakan di surat
cinta saya buat Dickens di sini). Tapi, baru dapat beberapa halaman, saya
temukan Oliver Twist edisi Penguin English Library harga diskon di situs Periplus, ya langsunglah saya order. Dan
ketika datang, terpaksalah buku ungu pucat nan unyu itu mengalah pada si kecil
Oliver.
Memiliki pengalaman
"penderitaan" dengan A Tale of Two Cities, saya agak khawatir akan
sulit membaca Dickens lagi. Tapi nyatanya, Oliver Twist ini memikat dari awal
hingga akhir. Entah apakah karena A Tale of Two Cities yang saya baca waktu itu
adalah terjemahan, sedang Oliver kali ini edisi bahasa Inggris, sehingga
pengalamannya terasa sangat beda, saya tak tahu. Yang jelas, kalimat-kalimat
Dickens yang panjang terasa menarik dalam kisah bocah yatim piatu ini.
Saya juga cocok
dengan humor dan sarkasme ala Dickens, bahkan beberapa adegan sedih pun saya
jadi nyengir miris karena rasa sarkastik dalam baris-baris komedi-ironi yang
dibawakan penulis Inggris itu.
Oliver
cried lustily. If he could have known that he was an orphan, left to the tender
mercies of churchwardens and overseers, perhaps he would have cried the louder
~ p. 4
The
bowls never wanted washing - the boys polished them with their spoons till they
shone again. ~ p. 14
Begitu pula ketika
Dickens mengintervensi cerita pada Chapter 17 dengan meminta pembaca percaya
bahwa hal yang diceritakannya (meski kini tampak melenceng) akan diketahui
maksud dan tujuannya nanti.
"...I
merely make this one in order to make myself quite right with the reader,
between whom and the historian it is essentially necessary that perfect faith
should be kept, and good understanding preserved.
...that I have a good and substantial reasons for making the journey, or I
would not ask him to accompany me on any account." ~ p. 154
Tentu saja, beberapa
hal dalam kisah ini terasa terlalu kebetulan; kebetulan-kebetulan yang
berhubungan dengan Mr. Brownlow atau Rose yang baik hati. Akan tetapi, bukankah
dalam kehidupan nyata kita juga sering digerakkan begitu saja dan menemui
kebetulan-kebetulan?
*
Oliver Twist sudah
beberapa kali diangkat ke dalam film layar lebar maupun mini seri tv. Salah
satu yang berkesan bagi saya - karena merupakan perjumpaan pertama saya dengan
Oliver - adalah Oliver! (1968), sebuah film musikal yang disutradarai
oleh Carol Reed. Film ini meraih 11 nominasi Academy Award ke-41 di
tahun 1969, dan memenangkan 5 di antaranya, termasuk Best Picture dan Best
Director.
Meski film ini agak berbeda
dari cerita hidup Oliver dalam buku, tapi ia tetap menghibur, terutama dengan
lagu-lagunya (yang sembari mengetik review ini sambil saya gumamkan
"Oliver! Oliver!"). Saya menyukai wajah manis dan lembut Oliver yang
diperankan oleh Mark Lester, terasa cocok dengan deskripsi dalam buku.
Mark Lester sebagai Oliver Twist dalam Oliver! (1968) |
!Bagian ini mungkin
mengandung spoiler!
Kalau ada hal yang
terasa hilang akibat adaptasi screenplay-nya, adalah tidak tampaknya momen
bahagia Oliver setelah semua penderitaannya; sesuatu yang membuat saya justru
menangis di akhir buku. Rasa haru setelah melihat kehidupan "lengkap"
Oliver; dari susah, sedih, derita, hingga akhirnya bahagia itu yang kurang
dapat saya resapi dari film.
!Mulai dari sini
sudah aman!
*
Dickens banyak
membedah sisi kelam London; pencopet, perampok, penadah, petugas tak becus,
kerabat yang dengki, karakter-karakter itulah yang berseliweran dalam Oliver
Twist. Namun untuk mengimbanginya ada juga Mr. Brownlow, Rose Maylie, bahkan
Nancy - yang juga gadis dunia hitam itu - memperlihatkan rasa kemanusiaannya.
Deep affliction has
only made them stronger; it ought, I think, for it should refine our nature. ~ Mr.
Brownlow, p. 123
Derita dan bahagia,
orang jahat dan baik, kesemuanya ditemui Oliver untuk memperkaya kisah
hidupnya. Jika ia tak bertemu Fagin dan ikut Dawkins mencopet mungkin ia tak
akan pernah mengenal Mr. Brownlow. Bila ia tak dipaksa Bill Sikes merampok,
mungkin ia takkan tertembak dan tak bisa berjumpa Mrs. Mayle dan Rose.
Kita pun sehari-hari
terkadang harus melalui perih sebelum tawa. Akan tetapi, seperti juga kita
mempercayai Dickens yang - sesuai janjinya - menuliskan setiap detil cerita
dengan maksud tertentu, sewajarnyalah kita pun mempercayai pengarang novel
dunia Tuhan Semesta Alam bahwa tak ada sesuatu pun yang hadir dalam hidup kita
tersia-sia.
Mr. Brownlow
mengatakan, "...there are books which the backs and covers are
by far the best parts." (p.122). Akan tetapi untuk Oliver Twist, jelas
isinya sama indahnya dengan covernya, bahkan lebih!
Judul: Oliver Twist
Pengarang: Charles Dickens
Terbit pertama kali: 1838
Edisi: Penguin English Library, 2012
Bahasa: Inggris
Format: Paperback
ISBN: 9780141198880
Halaman: 560
Pengarang: Charles Dickens
Terbit pertama kali: 1838
Edisi: Penguin English Library, 2012
Bahasa: Inggris
Format: Paperback
ISBN: 9780141198880
Halaman: 560
Komentar
Posting Komentar